Ibadah Minggu, 18 April 2021 (Pagi)
Oleh Pdt. Asigor P. Sitanggang (STFT Jakarta)
Ini merupakan dua ayat pertama dari dua pasal yang menceritakan tentang “Hamba Tuhan yang Menderita” (pasal 52-53). Yesaya cukup sering menggunakan istilah hamba, yang mengacu pada bangsa Israel secara keseluruhan, sisa-sisa Israel, nabi tertentu, nabi Yesaya, atau nabi-nabi secara kolektif. Menariknya, Tuhan Yesus mengutip salah satu bagian dari perikop ini untuk menyatakan bahwa hamba tersebut mengacu pada diri-Nya (Luk. 22:37). Pada masa Yesaya, Palestina merupakan wilayah yang menjadi perebutan dua kekuasaan besar, yaitu Mesir dan Babel (2Raj. 24:7). Yesaya 52:1-2 merupakan seruan bagi bangsa Israel untuk pemurnian iman selama dalam masa pembuangan yang terjadi akibat dosa-dosa mereka.
Sekalipun melihatnya sebagai hukuman, bangsa Israel juga meyakini bahwa Allah tidak meninggalkan mereka. Allah tetap ada bersama-sama dengan mereka dan menyertai mereka. Oleh sebab itulah, Allah memerintahkan mereka untuk mengusahakan kesejahteraan di mana mereka dibuang (Yer. 29:5, 7). Babel kemudian berkembang dan menjadi pusat keagamaan Yahudi yang kedua setelah Yerusalem. Buktinya, ada Talmud Yerusalem dan Talmud Babilonia, dua literatur Yahudi yang berotoritas. Pada akhirnya, orang-orang Yahudi diizinkan untuk kembali ke Yerusalem.
Ada beberapa hal yang dapat kita pelajari. Pertama, penderitaan bukanlah akhir dari segala sesuatu. Bahkan, termasuk penderitaan yang diakibatkan oleh kesalahan kita. Kedua, Allah tidak meninggalkan kita. Sebaliknya, Allah tetap menyertai kita. Bersabar, bertekun, serta waspada dan berjaga-jagalah. Puncak dari penyertaan Allah adalah Kristus, Allah yang berinkarnasi menjadi manusia untuk menyelamatkan kita. Jadi, penyertaan Allah tidak harus berwujud kelancaran hidup. Allah bukan hanya menyertai, tetapi juga memeteraikan Roh Kudus di dalam hati kita (Ef. 1:13). Inilah dasar kita bersyukur dan berkarya. Wujudkanlah dengan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja bernas (menjadi berkat) sehingga Allah dimuliakan. Amin.
REFLEKSI
Bukan seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang kita syukuri, itulah yang membuat kita bersuka cita (Charles Spurgeon)
PERTANYAAN UNTUK DIRENUNGKAN
- Bagaimana supaya kita dapat mengucap syukur di tengah keadaan yang sulit?
- Apa dampaknya bagi diri kita dan juga orang-orang di sekitar kita jika kita tidak terbiasa mengucap syukur?
AYAT ALKITAB TERKAIT
1 Terjagalah, terjagalah! Kenakanlah kekuatanmu seperti pakaian, hai Sion! Kenakanlah pakaian kehormatanmu, hai Yerusalem, kota yang kudus! Sebab tidak seorangpun yang tak bersunat atau yang najis akan masuk lagi ke dalammu. 2 Kebaskanlah debu dari padamu, bangunlah, hai Yerusalem yang tertawan! Tanggalkanlah ikatan-ikatan dari lehermu, hai puteri Sion yang tertawan! (Yes. 52:1-2)
Sebab Aku berkata kepada kamu, bahwa nas Kitab Suci ini harus digenapi pada-Ku: Ia akan terhitung di antara pemberontak-pemberontak. Sebab apa yang tertulis tentang Aku sedang digenapi. (Luk. 22:37)
Raja Mesir tidak lagi keluar berperang dari negerinya, sebab raja Babel telah merebut segala yang termasuk wilayah raja Mesir mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai Efrat. (2Raj. 24:7)
5 Dirikanlah rumah untuk kamu diami; buatlah kebun untuk kamu nikmati hasilnya; 7 Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu. (Yer. 29:5, 7)
Di dalam Dia kamu juga — karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu — di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu. (Ef. 1:13)